Pandangan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diketahui prinsip –prinsipnya dengan menganalisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW.
Bacalah dengan ( menyebut ) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang mengajar ( manusia ) dengan perantaraan Kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.
Iqra terambil dari akar kata yang berarti “ menghimpun “, dari menghimpun lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Qur’an mnghendaki agar umatnya membaca apa saja selama bacaan itu Bismirabbik , dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
Iqra, bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri–ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda–tanda zaman, sejarah diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil objek perintah Iqra, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekedar menunjukkan bahwa kecakapan membaca , tidak diperoleh kecuali mengulangi – ulangi bacaan, atau membaca hendaklah dilakukan sampai mencapai batas yang maksimal kemampuan, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang – ulangi bacaan Bismi Rabbik ( Demi karena Allah ) menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walupun yang dibaca itu–itu saja. Itulah pesan yang terkandung Iqra’ Warabbikal Al – Akram. ( Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah. ).
Bacalah dengan ( menyebut ) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang mengajar ( manusia ) dengan perantaraan Kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.
Iqra terambil dari akar kata yang berarti “ menghimpun “, dari menghimpun lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Qur’an mnghendaki agar umatnya membaca apa saja selama bacaan itu Bismirabbik , dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
Iqra, bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri–ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda–tanda zaman, sejarah diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil objek perintah Iqra, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekedar menunjukkan bahwa kecakapan membaca , tidak diperoleh kecuali mengulangi – ulangi bacaan, atau membaca hendaklah dilakukan sampai mencapai batas yang maksimal kemampuan, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang – ulangi bacaan Bismi Rabbik ( Demi karena Allah ) menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walupun yang dibaca itu–itu saja. Itulah pesan yang terkandung Iqra’ Warabbikal Al – Akram. ( Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah. ).
Selanjutnya dari wahyu pertama Al-Qur’an diperoleh isyrat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu Pengetahuan. Allah mengajar dengan pena atau bacaan ( apa yang telah diketahui manusia sebelumnya ) dan mengajar manusia tanpa pena ( apa yang belum di ketahui manusia )
Cara pertama adalah mengajar dengan atau atas dasar manusia, dan cara yang kedua mengajar tanpa alat dan tanpa usaha dari manusia. Walaupun berbeda namun keduanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.
Setiap pengetahuan memiliki subyek dan obyek. Secara umum subyek dituntut peranannya guna memahami obyek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa obyek terkadang memperkenalkan diri kepada subyek tanpa usaha sang subyek. Sebagai contoh, comet halley memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus ini walaupun para astronom menyiapkan diri dengan alat – alatnya untuk mengamati dan mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang paling berperan adalah kehadiran komet itu memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya atau apa yang diduga sebagai “ kebetulan “ yang dialami oleh ilmuan yang tekun, kesemuanya tidak lain kecuali bentuk – bentuk pengajaran Allah yang dapat di analogikan dengan kasus komet diatas. Itulah pengajaran tanpa kalam yang di tegaskan wahyu pertama ini.
Cara pertama adalah mengajar dengan atau atas dasar manusia, dan cara yang kedua mengajar tanpa alat dan tanpa usaha dari manusia. Walaupun berbeda namun keduanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.
Setiap pengetahuan memiliki subyek dan obyek. Secara umum subyek dituntut peranannya guna memahami obyek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa obyek terkadang memperkenalkan diri kepada subyek tanpa usaha sang subyek. Sebagai contoh, comet halley memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus ini walaupun para astronom menyiapkan diri dengan alat – alatnya untuk mengamati dan mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang paling berperan adalah kehadiran komet itu memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya atau apa yang diduga sebagai “ kebetulan “ yang dialami oleh ilmuan yang tekun, kesemuanya tidak lain kecuali bentuk – bentuk pengajaran Allah yang dapat di analogikan dengan kasus komet diatas. Itulah pengajaran tanpa kalam yang di tegaskan wahyu pertama ini.
Kandungan wahyu pertama diatas bila dirinci lebih jauh dengan merujuk ayat – ayat Al-Qur’an yang terkait sebagai berikut.
ILMU PENGETAHUAN
ILMU PENGETAHUAN
Kata ilmu dalam berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan.
Ilmu dari segi bahasa mengandung arti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya semua mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alam ( Bendera ), ‘ulmat ( Bibir sumbing ), A’laam ( Gunung – gunung ), ‘alamat (Alamat ) dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Kata ini berbeda dengan Arafa ( Mengetahui ), Aarif ( Yang Mengetahui ), dan Ma’rifah (Pengetahuan).
Allah SWT tidak dinamai A’rif, tetapi ‘aalim, dengan fi’ilnya Ya’lam ( Dia Mengetahui ) dan biasanya Al-Qur’an menggunakan kata itu bagi Allah untuk hal – hal yang diketahui-Nya walaupun hal-hal ghoib, tersembumyi, atau dirahasiakan.
Perhatikan obyek – obyek pengetahuan berikut, yang dinisbahkan kepada Allah :Ya’lamu Maa Yusirrun ( Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan ), Ya’lamu Maa fii Al’arhaam ( Allah mengetahui apa yang ada didalam rahim ), Maa Tahmil Kullu Untsa ( apa yang di kandung oleh betina/perempuan ), Maa Fii Anfusikum ( apa dalam dirimu ), Maa Fissamawat Wa Maa fil Ardh ( apa yang ada di langit dan di bumi ), Khaainat Al-‘ayun Wa MaaTukhfiy As-Shuduur ( kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada )…demikian juga ilmu yang disandarkan kepada manusia,semua mengandung makna kejelasan.
Dalam pandangan Al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk – makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Qur’an dalam surah Al-Baqarah [2]:31. Manusia menurut Al-Qur’an memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya atas izin Allah. Oleh karena itu bertebaran ayat – ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara dalam rangka tersebut. Sebagaimana pula berkali – kali Al-Qur’an menunjukan betapa tingginya kedudukan orang – orang yang berilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Al-qur’an , seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama diatas. Ilmu itu terdiri dari dua macam. Ilmu yang diperolehnya tanpa upaya manusia dan ini dinamai ilm ladunny, seperti yang diinformasikan antara lain oleh Q.S. Al-kahfi [18]:65.
Lalu mereka ( Musa dan muridnya ) bertemu dengan seorang hamba dari hamba – hamba kami, yang telah kami anugrahkan kepadanya rahmat dari sisi kami dan telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami.
Dan ilmu yang diperoleh atas usaha manusia dan dinamai ilm kasby. Ayat – ayat yang menjelaskannya tentang ilmu ladunny.
Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Qur’an terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak diketahui melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an antara lain dalam firman-Nya.
Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan apa –apa yang tidak kamu lihat (Q.S. Alhaaqah. )
Dengan demikian, obyek ilmu meliputi batas – batas materi dan non materi bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.
Dia menciptakan apa – apa yang kamu tidak ketahui.( Q.S. Annahal[16]:8.)
Disini pula pengetahuan manusia amatlah terbatas, karena itu wajar sekali allah menegaskan bahwa.
Kamu di beri pengetahuan melainkan sedikit (Q.S. Al-Isra’[ 17]:85).
OBYEK ILMU PENGETEHUAN DAN CARA PEROLEHANNYA
Ilmu dari segi bahasa mengandung arti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya semua mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alam ( Bendera ), ‘ulmat ( Bibir sumbing ), A’laam ( Gunung – gunung ), ‘alamat (Alamat ) dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Kata ini berbeda dengan Arafa ( Mengetahui ), Aarif ( Yang Mengetahui ), dan Ma’rifah (Pengetahuan).
Allah SWT tidak dinamai A’rif, tetapi ‘aalim, dengan fi’ilnya Ya’lam ( Dia Mengetahui ) dan biasanya Al-Qur’an menggunakan kata itu bagi Allah untuk hal – hal yang diketahui-Nya walaupun hal-hal ghoib, tersembumyi, atau dirahasiakan.
Perhatikan obyek – obyek pengetahuan berikut, yang dinisbahkan kepada Allah :Ya’lamu Maa Yusirrun ( Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan ), Ya’lamu Maa fii Al’arhaam ( Allah mengetahui apa yang ada didalam rahim ), Maa Tahmil Kullu Untsa ( apa yang di kandung oleh betina/perempuan ), Maa Fii Anfusikum ( apa dalam dirimu ), Maa Fissamawat Wa Maa fil Ardh ( apa yang ada di langit dan di bumi ), Khaainat Al-‘ayun Wa MaaTukhfiy As-Shuduur ( kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada )…demikian juga ilmu yang disandarkan kepada manusia,semua mengandung makna kejelasan.
Dalam pandangan Al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk – makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Qur’an dalam surah Al-Baqarah [2]:31. Manusia menurut Al-Qur’an memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya atas izin Allah. Oleh karena itu bertebaran ayat – ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara dalam rangka tersebut. Sebagaimana pula berkali – kali Al-Qur’an menunjukan betapa tingginya kedudukan orang – orang yang berilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Al-qur’an , seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama diatas. Ilmu itu terdiri dari dua macam. Ilmu yang diperolehnya tanpa upaya manusia dan ini dinamai ilm ladunny, seperti yang diinformasikan antara lain oleh Q.S. Al-kahfi [18]:65.
Lalu mereka ( Musa dan muridnya ) bertemu dengan seorang hamba dari hamba – hamba kami, yang telah kami anugrahkan kepadanya rahmat dari sisi kami dan telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami.
Dan ilmu yang diperoleh atas usaha manusia dan dinamai ilm kasby. Ayat – ayat yang menjelaskannya tentang ilmu ladunny.
Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Qur’an terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak diketahui melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an antara lain dalam firman-Nya.
Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan apa –apa yang tidak kamu lihat (Q.S. Alhaaqah. )
Dengan demikian, obyek ilmu meliputi batas – batas materi dan non materi bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.
Dia menciptakan apa – apa yang kamu tidak ketahui.( Q.S. Annahal[16]:8.)
Disini pula pengetahuan manusia amatlah terbatas, karena itu wajar sekali allah menegaskan bahwa.
Kamu di beri pengetahuan melainkan sedikit (Q.S. Al-Isra’[ 17]:85).
OBYEK ILMU PENGETEHUAN DAN CARA PEROLEHANNYA
Mengikuti pembagian ilmu yang disebut diatas, secara garis besar, obyek ilmu pengetahuan dapat dibagi dalam dua bagian pokok yaitu alam materi dan alam non materi.
Sains mutakhir mengarahkan pandangan kepada alam materi, sehingga mereka membatasi ilmu pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengetahui adanya realita yang tidak dapat dibuktikan dialam materi. karena itu obyek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antara budaya.
Sains mutakhir mengarahkan pandangan kepada alam materi, sehingga mereka membatasi ilmu pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengetahui adanya realita yang tidak dapat dibuktikan dialam materi. karena itu obyek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antara budaya.
Obyek ilmu menurut ilmuan muslim mencakup alam materi dan non materi. Sementara menurut kaum shufi melalui ayat – ayat Al-Qur’an memperkenalkan apa yang mereka sebut Alhadharaat Al-Ilhiyah Alkhams ( lima kehadiran Ilahi ) untuk menggambarkan hirarki keseluruhan wujud.
Kelima hal tersebut adalah :
1. Alam Naasuut (alam materi )
2. Alam Malakut ( alam kejiwaan )
3. Alam Jabaruut ( alam Ruh )
4. Alam Lahuut (Sifat – sifat Ilahiyah )
5. Alam Haahuut ( Wujud zat Ilahi )
Tentu ada tatacara dan “ alat-alat “ yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang hal – hal diatas.
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidak mengetahui sesuatu dan memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur ( menggunakannya sesuai dengan petunjuk Ilahi guna memperoleh pengetahuan ).
Ayat ini mengisyaratkan empat alat yaitu, pendengaran, mata dan akal ( penglihatan ) secara hati.
Kelima hal tersebut adalah :
1. Alam Naasuut (alam materi )
2. Alam Malakut ( alam kejiwaan )
3. Alam Jabaruut ( alam Ruh )
4. Alam Lahuut (Sifat – sifat Ilahiyah )
5. Alam Haahuut ( Wujud zat Ilahi )
Tentu ada tatacara dan “ alat-alat “ yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang hal – hal diatas.
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidak mengetahui sesuatu dan memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur ( menggunakannya sesuai dengan petunjuk Ilahi guna memperoleh pengetahuan ).
Ayat ini mengisyaratkan empat alat yaitu, pendengaran, mata dan akal ( penglihatan ) secara hati.
Trial dan error ( coba – coba ), pengamatan, eksperimen, probability, merupakan cara – cara yang digunakan ilmuan untuk meraih pengetahuan. Hal ini, walaupun di singgung juga oleh Al-Qur’an seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir tentang alam raya, melakukan perjalanan dan sebagainya. Namun itu hanya berkaitan dengan upaya mengetahui alam materi.
Perhatikanlah apa yang terdapat dilangit dan di bumi…( Q.S. Yunus [10]:101 ).
Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan, langit bagaimana ditinggikan, gunung bagaimana ditancapkan, dan bumi dihamparkan ?. ( Q.S. Al – Ghasyiyah [88]:17s/d 20 ).
Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapa banyak kami tumbuhkan di bumi itu aneka tumbuhan yang baik ?. ( Q.S. Asy-syu’ara [26]: 7 )
Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di bumi…Q.S. Yusuf [12]: 109 ).
Disamping mata, telinga dan pikiran, sebagai alat meraih pengetahuan. Al-Qur’an juga menggaris bawahi betapa pentingnya peranan hati dan kesuciannya. Wahyu, dianugrahkan atas kehendak Allah semata, dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia, sementara firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih melalui penyucian hati. Disini para ilmuan Muslim menekankan pentingnya Tazakiyah Annafes ( Penyucian jiwa ) guna memperoleh hidayah dari Allah, karena mereka sadar akan kebenaran firman Allah.
Aku akan memalingkan orang – orang yang menyombongkan diri di muka bumi, tanpa alasan yang benar – benar dari ayat-Ku…( Q.S. Al-‘Araaf [7] : 147 ).
Beraneka ragam dan berkali – kali pula Al-Qur’an menegaskan bahwa Inna Allaha Laa yahdiy…( Allah tidak akan memberi petunjuk ) kepada Azzalimiin ( orang – orang yang berlaku aniaya ), Al-Kafiriin ( orang – orang kafir ), Alfasiqiin ( orang – orang fasik ), Man Yudhil (yang disesatkan ), Man huwa Kaazibun Kaffar ( pembohong lagi amat ingkar ) Musrifun Kazzab ( pemboros lagi pembohong ). Dan lain –lain..
Memang boleh jadi mereka durhaka, memperoleh secercah ilmu Tuhan, yang bersifat kasby, tetapi apa yang mereka peroleh itu, terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakekat , bukan pula yang berkaitan realita diluar alam materi.
Banyak manusia tidak mengetahui, mereka hanya mengetahui yang lahir ( saja ) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akherat lalai. ( Q.S. Arrum [30] : 7 ).
Para ilmuan Muslim juga menggaris bawahi pentingnya mengamalkan ilmu. Dalam konteks ini Nabi SAW menyatakan bahwa : siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya maka Allah menganugrahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya. Sementara Ulama menunjuk kepada Q.S. Albaqarah [2] : 282 untuk memperkuat hadits tersebut.
Bertaqwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. ( Q.S.Al-Baqarah [2] : 282.
Atas dasar itu, Al-qur’an memandang bahwa seseorang yang memiliki ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu, antara lain dan yang paling menonjol adalah sifat Khas-yat ( takut dan kagum kepada Allah ), sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya;
Innamaa Yakhsya Allah Min ‘Ibadihi Al-Ulama,Q.S. Fathir [35] : 28. ( yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para Ulama.). Dalam konteks ayat ini, Ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan yang jelas tentang fenomena alam. Rasul SAW menegaskan pula bahwa : Ilmu ada dua macam, ilmu didalam dada, itulah ilmu yang bermanfaat untuk manusia. Dan ilmu yang sekedar diujung lidah, maka itulah yang bakal menjadi saksi yang memberatkan manusia.
MANFAAT ILMU
Perhatikanlah apa yang terdapat dilangit dan di bumi…( Q.S. Yunus [10]:101 ).
Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan, langit bagaimana ditinggikan, gunung bagaimana ditancapkan, dan bumi dihamparkan ?. ( Q.S. Al – Ghasyiyah [88]:17s/d 20 ).
Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapa banyak kami tumbuhkan di bumi itu aneka tumbuhan yang baik ?. ( Q.S. Asy-syu’ara [26]: 7 )
Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di bumi…Q.S. Yusuf [12]: 109 ).
Disamping mata, telinga dan pikiran, sebagai alat meraih pengetahuan. Al-Qur’an juga menggaris bawahi betapa pentingnya peranan hati dan kesuciannya. Wahyu, dianugrahkan atas kehendak Allah semata, dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia, sementara firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih melalui penyucian hati. Disini para ilmuan Muslim menekankan pentingnya Tazakiyah Annafes ( Penyucian jiwa ) guna memperoleh hidayah dari Allah, karena mereka sadar akan kebenaran firman Allah.
Aku akan memalingkan orang – orang yang menyombongkan diri di muka bumi, tanpa alasan yang benar – benar dari ayat-Ku…( Q.S. Al-‘Araaf [7] : 147 ).
Beraneka ragam dan berkali – kali pula Al-Qur’an menegaskan bahwa Inna Allaha Laa yahdiy…( Allah tidak akan memberi petunjuk ) kepada Azzalimiin ( orang – orang yang berlaku aniaya ), Al-Kafiriin ( orang – orang kafir ), Alfasiqiin ( orang – orang fasik ), Man Yudhil (yang disesatkan ), Man huwa Kaazibun Kaffar ( pembohong lagi amat ingkar ) Musrifun Kazzab ( pemboros lagi pembohong ). Dan lain –lain..
Memang boleh jadi mereka durhaka, memperoleh secercah ilmu Tuhan, yang bersifat kasby, tetapi apa yang mereka peroleh itu, terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakekat , bukan pula yang berkaitan realita diluar alam materi.
Banyak manusia tidak mengetahui, mereka hanya mengetahui yang lahir ( saja ) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akherat lalai. ( Q.S. Arrum [30] : 7 ).
Para ilmuan Muslim juga menggaris bawahi pentingnya mengamalkan ilmu. Dalam konteks ini Nabi SAW menyatakan bahwa : siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya maka Allah menganugrahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya. Sementara Ulama menunjuk kepada Q.S. Albaqarah [2] : 282 untuk memperkuat hadits tersebut.
Bertaqwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. ( Q.S.Al-Baqarah [2] : 282.
Atas dasar itu, Al-qur’an memandang bahwa seseorang yang memiliki ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu, antara lain dan yang paling menonjol adalah sifat Khas-yat ( takut dan kagum kepada Allah ), sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya;
Innamaa Yakhsya Allah Min ‘Ibadihi Al-Ulama,Q.S. Fathir [35] : 28. ( yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para Ulama.). Dalam konteks ayat ini, Ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan yang jelas tentang fenomena alam. Rasul SAW menegaskan pula bahwa : Ilmu ada dua macam, ilmu didalam dada, itulah ilmu yang bermanfaat untuk manusia. Dan ilmu yang sekedar diujung lidah, maka itulah yang bakal menjadi saksi yang memberatkan manusia.
MANFAAT ILMU
Dari wahyu pertama juga ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu. Dengan Iqra’ Bismirabbika digariskan bahwa titik tolak, atau motivasi pencarian ilmu demikian juga tujuan akhirnya karena Allah. Syekh Abdul Halim Mahmud mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar, memahami demi karena Allah dalam arti untuk kemaslahatan manusia. Bukan-kah Allah tidak butuh? Bukan-kah makhluknya yang butuh ?.
Berfikir dalam dalam bidang – bidang yang tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat , apalagi yang tidak memberikan hasil, kecuali menghabiskan energi harus dihindari. Rasulullah seringkali berdo’a “Allahumma Inny A’uzubika Min ‘Ilm Laa Yanfa “ ( Wahai Tuhan, Aku berlindung dengan-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat )”.
Atas dasar ini pula berfikir ( menggunakan akal ) untuk mengungkap rahasia alam metafisika=tidak boleh dijelajahi. Boleh jadi menarik untuk dikemukakan bahwa ayat – ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya, menggunakan redaksi yang berbeda-beda ketika merujuk kepada orang – orang atau manfaat yang diperoleh daripadanya, walaupun obyek atau bagian dari alam raya yang uraikannya sama.
TEKNOLOGI
Berfikir dalam dalam bidang – bidang yang tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat , apalagi yang tidak memberikan hasil, kecuali menghabiskan energi harus dihindari. Rasulullah seringkali berdo’a “Allahumma Inny A’uzubika Min ‘Ilm Laa Yanfa “ ( Wahai Tuhan, Aku berlindung dengan-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat )”.
Atas dasar ini pula berfikir ( menggunakan akal ) untuk mengungkap rahasia alam metafisika=tidak boleh dijelajahi. Boleh jadi menarik untuk dikemukakan bahwa ayat – ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya, menggunakan redaksi yang berbeda-beda ketika merujuk kepada orang – orang atau manfaat yang diperoleh daripadanya, walaupun obyek atau bagian dari alam raya yang uraikannya sama.
TEKNOLOGI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikan sebagai kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu pengetahuan yang berdasarkan proses teknis. Teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia. Kalau demikian, mesin – mesin atau alat canggih yang digunakan. Bukan itu yang di maksud dengan teknologi, walaupun secara umum orang sering mengasosiasikan alat – alat canggih sebagai teknologi. Mesin – mesin telah digunakan manusia sejak abad yang lalu, namun abad tersebut belum dinamai era teknologi.
Menelusuri pandangan Al-Qur’an tentang teknologi, mengundang kita menengok kepada sekian banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan alam raya. Menurut para Ulama terdapat sekitar 750 ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya, dan memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkannya. Secara tegas dan berulang – ulang, Al-Qur’an menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia.
Dia telah menundukkan untuk kamu apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi semuanya ( sebagai anugrah ) dari-Nya ( Q.S. Al-Jatsiyah [45]:13 ).
Adanya potensi dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya untuk membangkang perintah-Nya, kesemuanya mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan yang ditundukkan Tuhan itu. Keberhasilan memanfaatkan alam itulah buah teknologi. Al-Qur’an memuji sekelompok manusia yang dinamainya Ulul Albab. Ciri mereka antara lain dilukiskan oleh Q.S. Al-Imran [3]: 190-195.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda Ulil Albab. Yaitu mereka yang berdzikir ( mengingat ) Allah sambil berdiri, atau duduk, atau berbaring dan mereka yang berfikir tentang khaleq ( kejadian ) langit dan bumi…
Dalam ayat diatas tergambar dua ciri pokok, yaitu Tafakur dan Dzikir. Kemudian keduanya menghasilkan “ Natijah”. Natijah yang dimaksud bukan sekedar ide-ide yang tersusun dalam benak, tetapi juga melampauinya sampai pada pengamalan dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Quthub dan kitabnya “ Manhaj Attarbiyah Al-Islamiyah” mengomentari ayat Al-Imran diatas sebagai berikut :
“ Ayat –ayat tersebut menggambarkan secara sempurna metoda penalaran dan pengamatan Islami terhadap alam,.. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertamanya diantara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji dialam raya ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan tafakkur dan berakhir dengan amal.
Pengetahuan tentang hal terakhir ini mengantar ilmuan kepada rahasia – rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan pada penciptaan teknologi yang menghsilkan kemudahan dan manfaat bagi manusia.
Disini kita menoleh kepada teknologi dan hasil-hasil yang telah dipersembahkannya. Kalaulah untuk mudahnya kita jadikan alat atau mesin sebagai gambaran kongkrit tentag teknologi. Mesin- mesin dari hari ke hari semakin canggih. Mesin-mesin tersebut dengan bantuan manusia bergabung satu dengan lainnya. Sehingga ia semakin kompleks, ia tidak bisa lagi dikendalikan oleh seorang, namun ia dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan banyak orang. Dalam tahap ini, mesin telah menjadi semacam “seteru” manusia, atau hewan yang harus disiasati agar ia mau mengikuti kehendak manusia.
Dewasa ini, lahir teknologi, khususnya dibidang rekayasa genetika, yang dapat mengarah untuk menjadikan alat sebagai bantuan, bahkan menciptakan bakal-bakal alat yang akan diperbudak dan tunduk kepada alat. Tetapi jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat mengalihkan manusia dari asal tujuan penciptaan, maka sejak dini Islam menolak kehadiran hasil-hasil teknologi.
Karena itu menjadi persoalan bagi martabat kemanusiaan bagaimana memadukan kemampuan mekanik manusia untuk menciptakan teknologi, dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimana mengarahkan teknologi sehingga dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Rabbany, atau dengan kata lain bagaimana memadukan antara fikir , dzikir, ilmu, dan iman.
KESIMPULAN
Manusia memliki naluri untuk selalu haus akan ilmu pengetahuan, dua keinginan yang tidak akan pernah puas, keinginan penuntut ilmu, keinginan dan keinginan penuntut harta.
Hal ini dapat menjadi pemicu bagi manusia untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memanfaatkan anugrah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Oleh karena itu kita tidak bisa membendung laju teknologi, kita hanya bisa dapat berusaha mengarahkan manusia agar tidak terlalu menuruti nafsunya, mengumpulkan harta dan mengumpulkan ilmu teknologi yang dapat membahayakan dirinya sendiri, karena manusia dapat menjadi seperti kepompong, membahayakan dirinya sendiri akibat kepandainnya.
Menelusuri pandangan Al-Qur’an tentang teknologi, mengundang kita menengok kepada sekian banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan alam raya. Menurut para Ulama terdapat sekitar 750 ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya, dan memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkannya. Secara tegas dan berulang – ulang, Al-Qur’an menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia.
Dia telah menundukkan untuk kamu apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi semuanya ( sebagai anugrah ) dari-Nya ( Q.S. Al-Jatsiyah [45]:13 ).
Adanya potensi dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya untuk membangkang perintah-Nya, kesemuanya mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan yang ditundukkan Tuhan itu. Keberhasilan memanfaatkan alam itulah buah teknologi. Al-Qur’an memuji sekelompok manusia yang dinamainya Ulul Albab. Ciri mereka antara lain dilukiskan oleh Q.S. Al-Imran [3]: 190-195.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda Ulil Albab. Yaitu mereka yang berdzikir ( mengingat ) Allah sambil berdiri, atau duduk, atau berbaring dan mereka yang berfikir tentang khaleq ( kejadian ) langit dan bumi…
Dalam ayat diatas tergambar dua ciri pokok, yaitu Tafakur dan Dzikir. Kemudian keduanya menghasilkan “ Natijah”. Natijah yang dimaksud bukan sekedar ide-ide yang tersusun dalam benak, tetapi juga melampauinya sampai pada pengamalan dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Quthub dan kitabnya “ Manhaj Attarbiyah Al-Islamiyah” mengomentari ayat Al-Imran diatas sebagai berikut :
“ Ayat –ayat tersebut menggambarkan secara sempurna metoda penalaran dan pengamatan Islami terhadap alam,.. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertamanya diantara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji dialam raya ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan tafakkur dan berakhir dengan amal.
Pengetahuan tentang hal terakhir ini mengantar ilmuan kepada rahasia – rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan pada penciptaan teknologi yang menghsilkan kemudahan dan manfaat bagi manusia.
Disini kita menoleh kepada teknologi dan hasil-hasil yang telah dipersembahkannya. Kalaulah untuk mudahnya kita jadikan alat atau mesin sebagai gambaran kongkrit tentag teknologi. Mesin- mesin dari hari ke hari semakin canggih. Mesin-mesin tersebut dengan bantuan manusia bergabung satu dengan lainnya. Sehingga ia semakin kompleks, ia tidak bisa lagi dikendalikan oleh seorang, namun ia dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan banyak orang. Dalam tahap ini, mesin telah menjadi semacam “seteru” manusia, atau hewan yang harus disiasati agar ia mau mengikuti kehendak manusia.
Dewasa ini, lahir teknologi, khususnya dibidang rekayasa genetika, yang dapat mengarah untuk menjadikan alat sebagai bantuan, bahkan menciptakan bakal-bakal alat yang akan diperbudak dan tunduk kepada alat. Tetapi jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat mengalihkan manusia dari asal tujuan penciptaan, maka sejak dini Islam menolak kehadiran hasil-hasil teknologi.
Karena itu menjadi persoalan bagi martabat kemanusiaan bagaimana memadukan kemampuan mekanik manusia untuk menciptakan teknologi, dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimana mengarahkan teknologi sehingga dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Rabbany, atau dengan kata lain bagaimana memadukan antara fikir , dzikir, ilmu, dan iman.
KESIMPULAN
Manusia memliki naluri untuk selalu haus akan ilmu pengetahuan, dua keinginan yang tidak akan pernah puas, keinginan penuntut ilmu, keinginan dan keinginan penuntut harta.
Hal ini dapat menjadi pemicu bagi manusia untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memanfaatkan anugrah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Oleh karena itu kita tidak bisa membendung laju teknologi, kita hanya bisa dapat berusaha mengarahkan manusia agar tidak terlalu menuruti nafsunya, mengumpulkan harta dan mengumpulkan ilmu teknologi yang dapat membahayakan dirinya sendiri, karena manusia dapat menjadi seperti kepompong, membahayakan dirinya sendiri akibat kepandainnya.
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya=karena air itu= tanam – tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak, hingga apabila bumi ini telah sempurna keindahannya dan penghuni penghuninya telah menduga bahwa mereka mampu menguasainya, ( melakukan segala sesuatu ) tiba – tiba datanglah azab Kami laksana tanam – tanaman yang sudah sabit, seakan – akan belum tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda - tanda kekuasaan ( kami ) kepada orang – orang yang berfikir.
Topik Lainnya: Al-Qur'an, dunia islam, pendidikan, filosofi, sains, teknologi