Indonesia perlu berkaca dengan Filipina yang telah mampu memanfaatkan panas buminya hingga 70 persen.
Indonesia seharusnya bisa meningkatkan pemanfaatan ini hingga 35 persen pada 2025. Sebab, pada tahun itu, kebijakan energi nasional menargetkan panas bumi mampu menyokong 5 persen bauran energi nasional.
Pengembangan energi terbarukan juga harus menjadi prioritas pengelolaan energi nasional seiring perkembangan ekonomi dan kebutuhan listrik. Terlebih kebutuhan listrik Indonesia meningkat rata-rata 7 persen per tahun dan sebagian besar dipasok dari sumber energi fosil yang semakin terbatas.
Sayangnya, sekitar 45 persen potensi panas bumi Indonesia berada di kawasan hutan lindung. Ini menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab bagaimana potensi panas bumi bisa dimanfaatkan secara lestari dan tidak berdampak pada lingkungan.
Tidak hanya itu, kendala pengembangan panas bumi nasional juga berasal dari regulasi pemerintah, isu koordinasi lintas sektor, sumber daya manusia, dan isu tata kelolanya. Hal teknis lainnya menjadi tantangan, seperti akurasi data, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan, negosiasi harga, proses tender, dan perizinan.
Sifat panas bumi yang tidak bisa disimpan dan tidak bisa ditransportasikan jauh membuat energi ini tidak bisa menjadi komoditi ekspor. Akhirnya, lebih tahan terhadap kompetisi energi global dan fluktuasi harga energi dunia.
Panas bumi sebagai energi terbarukan mampu menopang ketahanan energi nasional jangka panjang karena rendah emisi. Ini juga bisa mengurangi beban subsidi energi. WWF-Indonesia yang sedang melaksanakan program "Geothermal Ring of Fire" diharapkan mampu memacu pergerakan signifikan pemanfaatan sumber energi terbarukan, khususnya panas bumi yang berkelanjutan pada 2015.