Beberapa hari terakhir ini saya dan mungkin Anda juga, pernah menerima SMS dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menginformasikan bahwa masyarakat umum dilarang memasang penguat sinyal (Repeater).
Berikut adalah bunyi pesan dari KEMKOMINFO tersebut:
"Masyarakat Umum Dilarang Memasang Penguat Sinyal (Repeater) Karena Dapat Mengganggu Jaringan Seluler (BTS) dan Diancam Pidana 6 Thn dan Atau Denda Rp 600 Juta".
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S. Dewa Broto, penertiban terhadap perdagangan dan penggunaan perangkat penguat sinyal di masyarakat dilakukan penyegelan atau penyitaan terhadap perangkat tersebut dan/atau akan dilakukan proses hukum lebih lanjut. Dengan adanya rencana penertiban kembali terhadap penggunaan perangkat penguat sinyal (repeater) ini, tidak berarti tidak ada konsekuensi bagi para penyelenggara telekomunikasi.
Masyarakat yang menggunakan penguat sinyal tentu bukan tanpa alasan. Sering kali mereka menggunakan perangkat tersebut adalah karena buruknya kualitas layanan telekomunikasi yang sering banyak dikeluhkan sejumlah pengguna layanan telekomunikasi. Buruknya kualitas layanan dalam bentuk terjadinya blank spot di berbagai area juga di antaranya disebabkan tidak optimalnya fungsi BTS karena adanya interferensi tersebut.
Oleh karenanya, kepada para penyelenggara telekomunikasi juga diperintahkan untuk juga tetap menjaga kualitas layanan telekomunikasi, dengan harapan agar sebagian publik tidak terpacu untuk demikian mudahnya menggunakan perangkat penguat sinyal.
Gatot mengingatkan, sebagaimana diketahui bahwa hanya penyelenggara telekomunikasilah yang memiliki izin yang diperbolehkan menggunakan perangkat pemancar yang beroperasi pada pita frekuensi yang masing-masing telah dialokasikan kepada setiap penyelenggara telekomunikasi.
Namun faktanya, repeater illegal yang beroperasi di banyak wilayah di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan dan sebagainya sangat mengganggu performansi jaringan milik penyelenggara telekomunikasi yang pada akhirnya merugikan masyarakat secara luas.
Gatot mengungkapkan, selama ini pihak Kementerian Kominfo melalui beberapa Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio sesungguhnya sudah sangat giat dalam melakukan penertiban, namun kadang kalah cepat karena pemasangan repeater illegal di lapangan yang semakin masif.
Perlu diketahui bahwa perangkat penguat sinyal tersebut beberapa diantaranya sudah tersertifikasi oleh Ditjen SDPPI, akan tetapi penggunaan perangkat penguat sinyal hanya diperuntukkan kepada penyelenggara telekomunikasi seluller yang telah memiliki izin dan tidak digunakan oleh pribadi atau masyarakat umum.
Penggunaan repeater yang digunakan oleh pribadi atau masyarakat umum harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Jo PP No 53 Tahun 2000 tentang Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Perangkat ini berbentuk seperti sebuah decorder, yang memiliki pemancar dan dipasang di berbagai sudut ruang perkantoran maupun perumahan. Misalnya, di suatu wilayah ada seseorang yang memasang repearter dengan kapasitas yang berlebihan, maka hanya orang tersebut yang meraih sinyal bagus. Sedangkan sinyal seluler di wilayah yang berbeda akan drop, karena gangguan pancaran repeater tersebut, katanya.
Kominfo menegaskan, bagi para pemilik, pedagang atau pengguna perangkat penguat sinyal (Repeater) dihimbau untuk tidak menggunakan perangkat tersebut karena akan melanggar UU Telekomunikasi yakni, Pasal 32 ayat (1) menyebutkan “Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 38 menyebutkan “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”.
Pasal 52 menyebutkan “Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan, atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana diatur dalam pasal 32 (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah), dan Pasal 55 menuebutkan “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Sumber: KEMKOMINFO